Keselamatan
(safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu
penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu :
keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas
kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa
berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green
productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan
”bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Ke
lima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap
rumah sakit.
penelitian di rumah sakit di Utah
dan Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Adverse Event)
sebesar 2,9 %, dimana 6,6 % diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD
adalah sebesar 3,7 % dengan angka kematian 13,6 %. Angka kematian akibat KTD
pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun
berkisar 44.000 – 98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan
angka angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara : Amerika, Inggris,
Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2 – 16,6 %. Dengan
data-data tersebut, berbagai negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan
Sistem Keselamatan Pasien.
Di
Indonesia data tentang KTD apalagi Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) masih
langka, namun dilain pihak terjadi peningkatan tuduhan “mal praktek”, yang
belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir.
Perawat
sebagai anggota inti tenaga kesehatan yang jumlahnya terbesar di rumah sakit
(sebesar 40 – 60%) dan dimana pelayanan keperawatan yang diberikan merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan, memiliki peran kunci dalam mewujudkan
keselamatan pasien dan menekan masalah medical error.
Keselamatan
pasien merupakan salah satu indikator klinik mutu pelayanan keperawatan[1],
Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan perlu memahami aspek hukum keselamatan
pasien untuk melindungi diri sendiri dari tuntutan hukum dan untuk melindungi
keselamatan pasien.
Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang
keselamatan pasien rumah sakit, definisi keselamatan pasien rumah sakit
adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada
pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera,
Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera.
Keselamatan pasien (patient
safety) merupakan suatu variabel untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas
pelayanan keperawatan yang berdampak terhadap pelayanan kesehatan[2]
Standar
keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada ”Hospital
Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on
Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia[3].
Standar
keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu :
a. Hak
pasien
b. Mendidik
pasien dan keluarga
c. Keselamatan
pasien dan kesinambungan pelayanan
d. Penggunaan
metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
peningkatan keselamatan pasien
e. Peran
kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik
staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi
merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
a. Pasal
43 tentang keselamatan pasien disebutkan bahwa :
1)
Rumah Sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien.
2)
Standar keselamatan pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah
dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
3)
Rumah Sakit melaporkan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada komite yang membidangi keselamatan
pasien yang ditetapkan oleh Menteri.
4)
Pelaporan insiden keselamatan pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk
mengkoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar
keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
b. Pasal 46 UU Rumah
Sakit No. 44 tahun 2009
bahwa Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit
bahwa Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit
a.
Bab IV Pasal 8 sasaran keselamatan pasien rumah sakit
1)
Setiap rumah sakit wajib mengupayakan
pemenuhan sasaran Keselamatan Pasien.
2)
Sasaran Keselamatan Pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut:
(1)
Ketepatan identifikasi pasien;
(2)
Peningkatan komunikasi yang efektif;
(3)
Peningkatan keamanan obat yang perlu
diwaspadai;
(4)
Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur,
tepat-pasien operasi;
(5)
Pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan; dan
(6)
Pengurangan risiko pasien jatuh.
Keselamatan
pasien merupakan prioritas dalam pelayanan kesehatan. Kita harus melindungi
klien dari terjadinya cedera fisik dan emosional dengan terus mencari dan
menghilangkan objek yang menjadi ancaman keselamatan. The Joint Commission (TJC) setiap tahunnya memperbarui dan
menerbitkan National Patient safety
Goals. Sebagai contoh tindakan yang mengancam keselamatan pasien adalah
kesalahan pemberian obat yang dilakukan oleh perawat. Ada dua pasien yang
namanya sama dengan diagnosa medis yang berbeda dan mendapatkan therapy yang
berbeda pula. Saat memberikan obat , perawat tidak menggunakan prinsip
pemberian obat dengan benar, perawat tidak memeriksa atau mencocokkan dulu apakah identitas pasien, nama obat yang
akan diberikan telah sesuai. Sehingga terjadi kesalahan pemberian obat pada
kedua pasien tersebut.
KTD yang sering terjadi pada
pasien selama di rawat bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban
kerja perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana
kurang tepat dan lain sebagainya. Contoh KTD adalah kejadian dekubitus, kesalahan pemberian obat
oleh perawat, pasien jatuh, cedera akibat restrain, infeksi nosokomial,
flebitis.
Contoh
lain dari KTD yang sering terjadi adalah
Nosokomial infeksi. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di sebelas rumah
sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap
mendapat infeksi yang baru selama di rawat.
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi resiko.
Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan
staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya
kesalahan medis (medical errors). Kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu kegagalan
tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang
diharapkan (yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk
mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi
dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera pada pasien.
Setiap tahun, puluhan juta pasien
di seluruh dunia mengalami keadaan cedera yang menetap atau kematian akibat
perawatan medis yang tidak aman. Hampir satu dari sepuluh pasien dirugikan saat
menerima perawatan kesehatan di rumah sakit baik pemerintah atau rumah sakit
swasta yang menggunakan teknologi maju (WHO, 2008). The Institute of
Medicine memprediksikan bahwa 100.000 kematian pertahun terjadi akibat
salah pemberian obat (Kohn, Corrigan & Donaldson, 2000). Bahkan lebih
penting lagi, kita memiliki bukti yang sangat sedikit tentang beban perawatan
yang tidak aman di negara-negara berkembang di mana mungkin ada risiko lebih
besar membahayakan pasien karena keterbatasan infrastruktur, teknologi dan
sumber daya. WHO (2011) menuliskan terdapat enam urutan teratas penelitian yang
dibutuhkan untuk menidentifikasi tentang patient safety, yaitu : obat palsu dan
obat yang belum memenuhi standar, kompetensi dan keahlian yang inadequate,
maternal and newborn care, health care-assosiated infectionas, pemberian
injeksi yang tidak aman, dan pemberian transfuse darah yang tidak aman.
Transfusi darah yang tidak aman, diprediksikan memberikan kontribusi terhadap
penyebaran HIV sekitar 5-15%. Studi WHO memperlihatkan bahwa 60 negara tidak
memiliki penapisan terhadap prosedur pemberian transfusi yang aman[4].
Terkait
dengan kualitas pelayanan rumah sakit, sebuah rumah sakit harus mengutamakan
keselamatan pasien[5].
Namun demikian, patient safety tidak
hanya di tekankan di rumah sakit saja, tetapi di semua tatanan pelayanan kesehatan
oleh tenaga kesehatan termasuk di tatanan layanan klinik.
Dalam
permenkes nomor 28 tahun 2011 tentang klinik di Bagian Ketiga Bangunan dan Ruangan pasal 8 ayat 3 disebutkan
bahwa bangunan klinik harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi
semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut. Pasal 11 ayat 2 disebutkan bahwa peralatan medis
dan nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar mutu,
keamanan, dan keselamatan.
Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Keputusan menteri
nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang
tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit
yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi
pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia(PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua
stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatian keselamatan pasien di rumah
sakit. Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah
sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai bagian
dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient
Safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada.
Menurut Darwito dalam simposium keselamatan pasien
dalam standar Akreditasi RS yang dikutip dari koran suara merdeka hari minggu
tanggal 16 September 2012 di ungkapkan bahwa standar pelayanan berorientasi
keselamatan pasien merujuk pada enam sasaran. Keenamnya yakni ketepatan
identifikasi pasien, peningkatan komunikasi efektif, peningkatan keamanan obat
yang perlu di waspadai, menerapkan keselamatan operasi tepat lokasi, prosedur
dan pasien operasi, pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan
pengurangan risiko pasien jatuh. komunikasi merupakan bagian terpenting baik
antar petugas maupun dengan pasien. Komunikasi efektif harus terjalin tak hanya
dengan sesama karyawan tapi juga antar karyawan pasien[6].
Faktor yang
paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak
ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya
adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan
proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah
oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat
dalam prosedur ’Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk
mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.
[1] Dikutip
dari nursalam dalam manajemen keperawatan aplikasi dalam praktik keperawatan
profesional
[2] Nursalam
dalam bukunya Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam praktik Keperawatan
Profesional, hlm 307
[3] Depkes
RI, Pedoman Penanggulangan Keselamatan Pasien Rumah Sakit
[4] Dikutip
dari internet tanggal 15 September 2012 jam 18.00
http:/www.fik.ui.ac.id/pkko/files/UTS_SIM-ERIN.pdf
[5] Dikutip
dari Notoatmojo dalam Etika dan hukum kesehatan, hlm 161
[6] dikutip
dari darwito dalam terapkan pelayanan fokus kepada pasien, koran suara merdeka
, hal 14, minggu 16 september 2012
0 komentar:
Posting Komentar